Adzan subuh menggema, gelombangnya indah menghiasi cakrawala pagi yang lelap oleh mimpi-mimpi alam bawah sadar. Gemanya menari-nari dan hinggap direlung-relung jiwa, menghentak kesadaran, agar bangkit dan membasuh wajah dengan air wudhu .
“Astagfirullahaladzim…!” Aku memekik pelan , sembari menghentakkkan tubuh lelahku untuk bangun. Dalam keadaan setengah sadar, kupandangi sekeliling tempat tidur yang berantakan. Kertas-kertas kusut penuh tulisan tak jelas, terhambur disekitar tempat tidur, dan sebagian lagi tergeletak kuyu dibawah ranjang. Pulpen,pensil,penggaris dan penghapus bercerai-berai. Buku paket matematikanya kubiarkan terbuka . Tertulis disitu “Soal-Soal Pertidaksamaan Linear”. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Dan dengan tergesa, kuperiksa buku tulis yang sedari tadi tergeletak pasrah disampingku.
Sret.sret..sret. Kasar kubuka buku itu lembar demi lembar. Mataku lekat memandangi tulisan didalamnya. Telunjukku bergerak kesana-kemari mengikuti alur mataku. Persis seperti detektif sibuk yang serius meneliti file-file bukti kasus yang akan diajukan untuk memperkuat hipotesisnya.
“Masya ALLAH…!” kutepuk jidatku dengan gaya slow motion. Lembar terakhir buku itu ternyata masih kosong. Belum ada satupun soal PR Matematika yang kuselesaikan.
“Waduh, kena marah lagi, nih! Kamu sih, pake ketiduran segala. Bagaimana ini? Mana jam pertama lagi. Aduuh..” Aku mengeluh sendiri. Gusar. “ Ah, lebih baik sholat dulu, supaya tenang.” Lalu, dengan langkah yang lemah, ku seret kakiku menuju kamar mandi untuk berwudhu. Tapi, seperti melupakan sesuatu, aku memutar badan, kembali ketempat tidur dan duduk ditepi ranjang. Kutengadahkan tanganku keatas, layaknya orang berdo’a. Ow. aku jadi lupa baca do’a bangun tidur gara-gara soal matematika.
Sampai disekolah.. Aku masuk kekelas dengan wajah kusut dan perasaan deg-degan. Aku memilih duduk dibangku kosong belakang.Sementara itu,bias mentari pagi menerobos melalui celah jendela kelas. Sebagian bias itu menerpa wajahku, panas dan membuat pelipisku berkeringat. Tak lama kemudian bel berbunyi. Teet...teet..teet…
Mr. San, nama aslinya Sanjaya Pradana. Guru matematika baru yang terkenal disiplin dan dingin minta ampun. Anak-anak lebih senang memanggilnya dengan sebutan Mr.San. Keren,kayak nama orang Jepang atau China, katanya. Apalagi ciri-ciri fisik Mr.San memang tidak jauh berbeda seperti orang Jepang.
Sejurus kemudian terdengar bunyi langkah sepatu yang sudah sangat familiar ditelinga kami. Itu adalah suara langkah sepatu Mr.San. Seperti biasa, siswa sudah duduk manis dibangku masing-masing sebelum Mr.San sampai dikelas.
Aku terkesiap. Perasaanku semakin bergemuruh, cemas menjadi-jadi.
“Ya Allah…selamatkan PR-ku..selamatkan PR-ku!” Kataku berkomat-kamit merapalkan do’a andalan. Sementara dibawah meja, kakiku tak berhenti bergerak-gerak. Salah satu cara untuk mengurangi ketegangan yang tidak pernah terbukti ampuh.
“Fa…udah belum, PR-nya?” Tanya Zulfa,teman dudukku dibangku paling depan.
Nama kami berdua seperti sajak, sama-sama ber-rima. Fa n Fa.
“Ssstt… jangan ribut!” Kataku setengah galak.
“Uppss..sorry.” Zulfa yang merasa telah melakukan kesalahan secara otomatis mengatupkan bibirnya.
”Tapi, kamu kok duduk dibelakang,sih? Tanya Zulfa lagi.
“Sengaja, supaya ga jadi korban!”Jawabku agak ketus.
Ooo..” Zulfa ber-oo panjang. “Tapi, kamu duduk dibelakang bukan karena marah sama Zulfa, kan Fa?” Tanyanya lagi dengan wajah diimut-imutin.
”Aduuh, please deh, dasar sensi. Ga’ usah su’udzon,dong!” Balasku lagi dengan suara keras yang ditekan. Dalam keadaan seperti ini, aku memang cepat naik darah, kalau ada orang yang bertanya ga penting.”Sudah nervous begini, ga’bisa apa liat orang tenang!” Aku mengomel sendiri dalam hati.
“Fa…?” Zulfa cengengesan. ‘Ada apa lagi sih? Bertanya melulu deh! Tuh, Mr.San udah datang,kamu diperhatikan dari tadi!” Menjengkelkan.
Tak disangka.. “Zulfa..Syifa..! Kalau mau cerita , keluar saja. Tidak usah ikut pelajaran saya. Suara tegas nan dingin Mr.San, seperti senjata lasernya Ice Man dalam film The Incredible’s, yang bikin membeku tubuh lawan sekali tembak.
Zulfa tak berkutik. Aku tambah shock. Ternyata, sedari tadi kami berdua dipelototi sama Mr.San. Itulah mengapa ketua kelas tidak cepat memimpin teman-teman mengucapkan salam. Mereka menunggu aku dan Zulfa selesai berceloteh. Tapi, dasar yang dipelototi tidak sadar juga, akhirnya dapat tembakan Ice Laser, deh.
“Baik, sekarang, semua PR dinaikkan.Saya tidak mau tau ada yang belum mengerjakan PR. Atau ada yang belum mengerjakan? Silahkan angkat tangan!’
Dalam pendengaranku, suara Mr.San seperti kabar maut yang dibawa malaikat Izrail. Panikku semakin bertambah. Mr.San memandangi siswa satu persatu, mencari-cari siapa yang menyerahkan diri. Tidak ada. Aku sendiri pun tak berani mengangkat tangan . Hatiku bergetar semakin kencang, seperti satu genderang yang ditabuh seribu tangan.
Bayangan mencuci WC siswa yang super jorok dan bau pesing berkelebat dalam fikiranku. Bahkan bau WC nya pun seperti nyata tercium. Aku mengendus-endus. Aneh, fikirku. Aku benar-benar mencium bau pesing khas WC siswa yang tidak dicuci berbulan-bulan lamanya. Aku mengendus-endus sekali lagi. Memastikan kebenaran penciumanku. Dan sungguh, aku benar-benar bisa mencium aromanya, jelas sangat jelas.
”Wah, hebat sekali kekuatan fikiranku, amazing.” Kuperhatikan teman-teman disekelilingku. Sama. Mereka semua juga menutup hidung.
“Tak bisa dipercaya, mereka terpengaruh juga dengan kekuatan fikiranku.Hebat!”
Bahkan Mr.San juga menutup hidung. Aku memekik kagum dalam hati. Kulihat ekspresi wajah Mr.San, memerah menahan rasa mual yang mengaduk-aduk perut.
Dan Ueeekkk… Mr.San hampir saja muntah didepan kami. Mereka yang sedari tadi menekuri buku masing-masing sambil menutupi hidung, kontan terperanjat.
‘Ha..ha..ha..!” Terdengar suara tawa tanpa rasa berdosa digemakan oleh Arif, sang “pemandu sorak” kelas kami. Mr.San yang merasa wibawanya tercampakkan, melotot seolah-olah ingin memuntahkan seluruh isi perutnya ke wajah Arif.
Seperti dijatuhi batu dari atas plafon kelas, Arif langsung menunduk dengan muka memerah. Pertunjukkan berakhir dengan keluarnya Mr.San dari kelas kami.
Rupanya beliau kehilangan konsentrasi , akibat gangguan tak terduga itu. Lapang sekali rasanya. Dan kabar baiknya adalah, PR matematika ditunda sampai minggu depan,tapi dengan tambahan soal sebagai pengganti Mid Semester.
”Terimakasih, Tuhan…paling tidak aku selamat hari ini!” aku memekik girang dalam hati. Tapi pada saat itulah kusadari bahwa, sumber bau itu tidak lain dan tidak bukan berasal dari WC siswa yang terletak 7 meter sebelah utara kelas. Jadi, otomatis baunya menguar dan korban pertama adalah hidung-hidung kami. Kirain gara-gara kekuatan fikiran.:)
Hari ini mid semester Sejarah. Aku sudah meng-azzamkan dalam hati untuk mendapatkan nilai terbaik dari mata pelajaran yang paling kusukai itu.
“…Jadi, jika matriks A adalah matriks ber ordo 2x2 yang ditulis dalam bentuk [ab cd], maka…bla..bla..bla..”. Mr.San sibuk menjelaskan materi matriks. Sedang aku berceloteh sendiri dibelakang, menghafal kisi-kisi sejarah. Untung saja, Mr.San tidak menyadarinya. Jika kebetulan matanya menatap kearahku, aku langsung terdiam, memperhatikan penjelasan Mr.San dengan seksama, sambil mengangguk pura-pura mengerti.
Satu jam telah berlalu. 40 menit lagi, Bu Mey, guru sejarah masuk. Aku mengulang-ulang kembali hafalan. Sampai akhirnya kelelahan sendiri dan tanpa sadar wajahku sudah tertelungkup diatas buku sejarah. Setelah agak lama tetidur, sayup-sayup kudengar teman-temanku berbisik menyebut-nyebut namaku. Dan tak lama setelah itu, suara langkah sepatu yang sepertinya kukenal mendekat kearahku.
Praakkk…. mejaku seperti dipukul seseorang. Aku terbangun, kaget. Kudapati Mr.San telah berdiri disampingku. Teman-temanku tertawa, aku bingung. Dengan wajah bego, aku bertanya kepada Mr.San .”Ada apa, pak?” Kontan seisi kelas semakin menertawaiku.
“Ada apa,ada apa…Kamu pikir saya mengajar Sejarah? kamu itu Syifa, selama ini saya sering memperhatikan, kamu sama sekali tidak pernah memperhatikan penjelasan saya dengan baik, setiap kali saya menjelaskan, kamu selalu saja bikin kegiatan sendiri. Baca buku filosofi, novel, cerpen. Kamu sudah kelas tiga, tidak lama lagi Ujian Nasional,seharusnya kamu sadar untuk mengejar ketinggalan, asal tau saja, nilai matematikamu tidak pernah bagus! Sekarang, keluar sana, jangan ikut pelajaran saya dulu!
Plasss.. seperti ada yang menampar hatiku. Tapi dengan PeDe ,kuturuti saja perintah Mr.San. Meski sedikit merasa malu aku tetap melangkahkan kaki menuju pintu keluar. Tapi, belum sampai diambang pintu, aku kembali lagi.
“Kenapa kembali, saya bilang diluar dulu!” Mr.San mulai membentak. Tak kupedulikan kata-kata Mr.San. Dan tanpa rasa bersalah kusambar buku Sejarah yang tergeletak dimeja. Mr.San memperhatikan sambil mengernyitkan kening, teman-teman keheranan.
“Ambil buku sejarah, pak!” Jawabku ketika lewat didepan Mr.San, kemudian berlalu dengan santai.Benar-benar nekat. Dengan rasa malu yang tak dapat disembunyikan, Zulfa geleng-geleng kepala. Heran. Mulai saat itulah konfrontasi nyataku dengan mata pelajaran Matematika dimulai.
Setiap kali belajar matematika, Aku selalu membawa buku-buku lain untuk dibaca. Aku semakin sering keluar masuk kelas. Jika bosan mendengar penjelasan, aku tidur, atau menulis potongan-potongan cepen dan puisi. Teguran dari Mr.San seperti angin lalu saja, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Bahkan aku mulai berani membolos pada jam pelajaran Matematika. Berkali-kali aku dipanggil ke kantor BP, untuk diadili. Tapi tidak ada yang berubah setelah itu.
‘Fa…segitu ga sukanya, ya kamu sama Matematika? Tanya Zulfa saat kami sedang asyik membaca buku di perpusatakaan.
“Hemm…aku sebenarnya merasa bersalah, malu, dan kasian sama Mr.San.Tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tidak tetarik dengan Matematika. Bahkan sejak kelas 1 SD.Entah kenapa, setiap kali belajar Matematika,aku pasti ngantuk duluan, trus kalau berhadapan dengan rumus-rumus yang begitu banyaknya, kepalaku seperti mau pecah. kalo terus dipaksa aku akan merasa sangat tertekan, Fa! Percuma, aku ga akan pernah mengerti, karena aku memang tidak memiliki bakat belajar matematika.Tau tidak,sejak kelas dua SD aku selalu sulit menghafal perkalian,aku bingung mengalikan dan membagi bilangan,padahal itu cuma bilangan kecil. Aku tak pernah mengerti penjelasan dari guru. Dan hal itu terus berlanjut sampai SMP dan SMA.” Kuceritakan semua penderitaanku pada Zulfa.
“Tapi, nilai Matematikamu terancam, Fa!” Zulfa memperingatiku sekaligus prihatin.
“Yah, mau apa lagi, biarkan saja seperti itu. Ga mungkin aku dipaksa memahami Matriks, Fungsi kuadrat,Linier, Integral,Invers, Aljabar. Please,God…dengar namanya saja aku jadi teringat dengan mantra-mantra pengusir zoombi. Masa kita dipaksa untuk selalu dapat nilai baik dalam setiap mata pelajaran, atau paling tidak, mencapai standar nilai, padahal kan kita punya kecenderungan berbeda dalam setiap mata pelajaran, it’s impossible! Coba lihat, kasihan sekali teman-teman kita ditempat lain yang sampai bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian, padahal kendalanya hanya karena satu mata pelajaran saja yang nilainya tetinggal.Dan kalau dilihat keseharian, dia juga adalah siswa yang patut diperhitungkan! ” Kataku sewot.
”Coba saja hitung, berapa alaumni SMA kita yang sukses, paling juga perbandingannya itu 2:10. Mau tau kenapa? karena kita tidak fokus. Ilmu kita mengambang. Sulit menemukan orang yang ahli dalam bidangnya. Seandainya saja ada sekolah yang bisa mengembangkan bakat kita, kita bebas memilih mata pelajaran yang kita sukai, bebas masuk ke kelas yang kita sukai, wah, pasti bagus itu. Aku akan selalu merasa bahagia, Tanpa tekanan, tanpa stress.!” Jelasku dengan mata berbinar.
“Ah, ga ngerti deh, Fa..kamu itu berpikir terlalu jauh, hadapi aja kenyataan yang ada sekarang, ga usah memikirkan hal-yang rumit-rumit. Tugas kita saat ini yang paling penting adalah belajar dengan baik, lulus ujian, selesai! Zulfa menimpali sambil meminum sisa teh gelasnya. Aku termenung. Kalau emang ada sekolah seperti itu, maka aku adalah orang pertama disekolah ini yang meminta surat pindah.
Teet..Teet..Teet. Bel berbunyi tanda waktu istirahat jam pertama habis.
”Ah, matematika lagi!” Aku mengeluh perlahan. Dengan malas aku beranjak kekelas. Mr.San sudah berada dikelas 5 menit yang lalu.
“Baik anak-anak, kali ini kita akan mempelajari tentang Barisan dan Deret Aritmetika….nilai konstanta dari suatu bilangan..bla bla bla..dapat dirumuskan sebagai berikut..bla bla bla…!”
Aku menguap berkali-kali, mataku terasa berat. Kubaca kembali buku Slilit Sang Kiai karya, Emha Ainun Nadjib. Aku sangat menikmati bacaanku, sampai tak kudengar suara Mr.San dan celotehan teman-teman yang berebut menjawab pertanyaan. Aku seperti punya duniaku sendiri. Setelah lelah membaca, aku menulis sesuatu dikertas kosong.
“Ya..Tuhan , kapan selesainya pelajaran ini…” Keluhku lagi, sambil menguap. Aku mendengus kesal berkali-kali.
“Wah, kesempatan yang baik, nih. Kalau tidur sebentar, pasti tidak diperhatikan sama Mr.San, apalagi teman-teman pada antusias menjawab soal-soal dipapan, pasti ga bakal kentara, perhatian Mr.San pasti tertuju pada mereka, ah, duduk dibelakang memang asyik. Tempat yang strategis.” Seperti mendapat angin segar, dan tanpa berpikir panjang lagi, kurebahkan kepalaku diatas meja..Aku tertidur, pulas.
45 menit berlalu, Mr.San siap-siap keluar dari ruangan. Dibereskan bukunya. Anak-anak juga bersiap untuk memberi salam.
“Terimakasih, Paaaak..” Teriak mereka,serempak. Mr.san berjalan menuju pintu keluar, tapi aneh, Mr.San tiba-tiba memutar langkahnya, Beliau kembali kederetan bangku perempuan. Ia berjalan terus sampai kebangku terakhir, tempatku tertidur tanpa rasa berdosa.
Mr.San berhenti tepat didepan wajahku tanpa melakukan apapun. Teman-teman berdiri tegang menanti apa yang akan terjadi. Mereka saling berpandangan, ada yang tertawa tertahan, geleng-geleng kepala,dan berbagai macam ekspresi yang tidak dapat kugambarkan secara harfiah.
Dan akhirnya…
”SYIFA….A..A..A” Mr.San berteriak garang seperti meneriaki maling. Aku tersentak, kaget bukan main, kudongakkan kepala dengan lugu, melihat teman-temanku yang mulai tertawa terbahak-bahak, dan yang lebih mengerikan lagi, Mr.San sudah pasang badan, berkacak pinggang, persis didepan hidungku. Wajahnya merah padam, seolah-olah ingin menelanku bulat-bulat. Saat itu tak kusadari ada kertas yang menempel didahiku, teriakan Mr.San terlalu mengagetkanku, sampai-sampai terlambat menyadari keadaan. Seperti orang bodoh kulipat tanganku diatas meja, layaknya seorang murid manis yang siap menerima pelajaran dengan sepenuh hati.
“Huaha…ha..ha..ha” Tawa mereka semakin menjadi-jadi, bukan hanya karena ekspresi wajahku yang linglung, tapi karena kertas yang menempel lemah dijidatku. Aku terlihat seperti vampir yang ditempeli kertas kuning berisi tulisan mantra.
“Apa lagi ini..? Kata Mr.San sambil melepaskan kertas itu dengan kasar. Disitu tertulis dengan huruf besar “I’M SORRY MATH…”. Kusadari, rupanya itu adalah judul puisi yang kutulis sebelum tertidur tadi. Mr.San memandangi kertas itu seperti orang tua yang meneliti raport anaknya yang dihiasi nilai merah.
“Sekarang…kamu maju kedepan. Bacakan kepada teman-temanmu, hasil karyamu ini. Cepaat!” Mr.San mengacungkan telunjuknya kearah papan tulis. Tanganku bergetar, persendianku serasa dilolosi satu-persatu, hawa panas dari luar membuat keringatku mengucur deras.
Dengan langkah pasrah dan perlahan, aku maju kedepan kelas.
“CEPAAT… “ Hardik Mr.San. Aku terhenyak, sambil menekuri lembaran kertas itu, seperti siswa yang menyesali nilai-nilainya yang jelek.
“Ayo…jangan membuang-buang waktu saya, setelah ini saya akan mengajar dikelas sebelah…atau kamu mau tidak saya berikan nilai matematika, dan kamu tidak akan lulus,hemm? Silahkan memilih!”
Aku terkesiap, ancaman yang tidak bisa dianggap main-main . Kutarik nafas, memberikan kekuatan kepada diri sendiri .Akhirnya, dengan terbata aku mulai membaca puisi itu.
“Judul Puisiku…” Suaraku keras penuh penyesalan.
I’m sorry, Math…
Aku pening dalam hening
Ketika dering rumusmu mulai berdenting,
Aku..aku gering…pusing…tak bergeming.
I’m Sorry, Math…
Aku tergugu dalam sembilu
Ketika rumusmu mulai terpaku,
Aku…aku seperti mati kutu
Ha…ha… I’m Sorry Math…
Bukan aku tak suka…
Tapi aku tak cinta…Mungkin jika berubah, seperti sastra yang selalu nikmat kukunyah.
“Selesai , pak!” Kataku, sembari melirik kearahnya.
Mr.San menatapku. Sorot matanya tajam menghujam ulu hatiku. Tak lama kemudian Mr.San meninggalkan ruangan diselingi tawa anak-anak.
Mentari semakin tinggi, siang semakin panas.
Azhaar Al-khansa’
Makassar, 28 April 2010 (21:45wita)
(“A gift for my Sister’s”)
Diposting oleh
admin
on Jumat, 30 April 2010
Label:
FIKSI
1 komentar:
wih panjang juga nih post nya...
lucu yng pas guru MTK kamu, kebauan mau muntah,,,..
Posting Komentar